1.
APBN
(Masih) Menjadi Korban Eksploitasi Utang. Dalam RAPBN 2013
porsi pembayaran cicilan bunga dan pokok utang mencapai Rp171.7 triliun (15,0%
terhadap Belanja Pemerintah Pusat) atau meningkat sebesar 2,4% dari tahun 2012
sebesar Rp167.5 triliun. Terdiri dari pembayaran bunga Utang Luar Negeri (ULN)
dan Utang Dalam Negeri (UDN) sebesar Rp113.243 triliun, serta pembayaran
cicilan pokok utang LN sebesar Rp58.405 triliun. Besarnya pembayaran bunga juga
disebabkan karena Pemerintah tidak mau menghentikan pembayaran bunga Obligasi
Rekapitulasi Perbankan. Sebagaimana dipaparkan oleh Menteri Keuangan, Outstanding surat utang/obligasi rekap sampai
dengan tanggal 16 Agustus 2012, berjumlah Rp147,77 triliun atau tersisa sekitar
35 persen dari posisi awal rekap. Sementara itu, komposisi berdasarkan jenis
kupon tetap sebesar Rp20,65 triliun (14 persen) yang seluruhnya jatuh tempo
pada tahun 2013 dan yang berjenis mengambang Rp127,12 triliun (86 persen) yang
akan jatuh tempo pada rentang 2012-2020.
Grafik. 1
Pertumbuhan Pembayaran Utang dalam APBN (2009-2013)

Sumber: APBN, diolah
Pengurasan APBN untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga
utang tentu akan berdampak langsung berkurangnya porsi anggaran untuk membiayai
sektor yang vital dan prioritas seperti diamanatkan oleh konstitusi.
Sebagaimana terlihat pada minimnya anggaran untuk peningkatan kesejahteraan
rakyat dan pelayanan umum. Alokasi pembayaran utang pada RAPBN 2013 jauh
melebihi jumlah anggaran kesehatan yang hanya Rp50,90 triliun. Atau total
anggaran untuk ketahanan pangan sebesar Rp83 triliun dan anggaran untuk fungsi pertanian, kehutanan,
perikanan dan kelautan yang hanya berjumlah Rp19,9 triliun. Dalam kondisi yang
lebih memprihatinkan, alokasi anggaran untuk menunjang Kesehatan Ibu dan Anak
(AKI) dalam RAPBN 2013 yang hanya berjumlah Rp8,4 triliun.
Ketimpangan anggaran
ini akan terus dipertahankan Pemerintah dalam rangka menjalankan kebijakan Net Negative Flow, di mana penarikan
utang baru lebih sedikit daripada pembayaran utang. Kebijakan ini merupakan
langkah keliru, sebab hanya melanjutkan praktek eksploitasi Utang Luar Negeri
terhadap anggaran negara akibat terjadinya selisih transfer negatif yang
terjadi sejak tahun 1984/1985. Juga bukan solusi untuk mengurangi beban utang, disebabkan
makin meningkatnya beban biaya utang dari penarikan utang-utang baru berbiaya
mahal (Surat Berharga Negara) oleh Pemerintah dan semakin terbatasnya fasilitas
utang luar negeri murah (consessional
loan) karena status Indonesia sebagai negara middle income country. Kebijakan ini juga sangat bias kepentingan kreditor
dan mengabaikan fakta adanya utang haram (oudius debt) dan utang tidak sah
(illegitimate debt) dari ULN yang bisa dihapuskan serta menghambat
kemampuan APBN dalam meningkatkan alokasi anggaran belanja untuk mendorong
kemakmuran rakyat banyak.
2.
Malas Meningkatkan Pendapatan, Rajin Bergantung Kepada Utang. Berutang masih menjadi ritus tahunan Pemerintah dalam
memenuhi kebijakan APBN. Dalam RAPBN 2013, penarikan utang baru berjumlah
Rp230.2 triliun melalui peneribatan Surat Berharga Negara (netto) Rp177.3
triliun, pinjaman LN sebesar Rp45.9 triliun, dan penerusan pinjaman LN sebesar
Rp6.97 triliun. Jumlah penarikan utang tahun 2013 meningkat 3,7% dari anggaran
tahun 2012, yaitu sebesar Rp221,8 triliun. Sementara rata-rata pertumbuhan
penarikan utang baru tahun 2009-2012 sebesar 13,2%. Peningkatan volume penarikan
utang pemerintah disebabkan masih tingginya ketergantungan terhadap utang untuk
membiayai defisit anggaran yang utamanya karena terjadi peningkatan beban
pembayaran bunga dan jatuh tempo utang-utang lama yang ditutupi melalui
penarikan utang baru.
Grafik. 2
Pertumbuhan Utang Baru (SBN&ULN), 2009-2013

Sumber: APBN, diolah.
Padahal, penarikan utang yang terjadi secara
terus-menerus tidak diiringi tingkat penyerapan yang baik. Berdasarkan data
Bappenas, Selama 12 tahun terakhir (2000-2011) kemampuan untuk menyerap utang
luar negeri misalnya, rata-rata hanya berkisar 71,2%. Hal ini berakibat
timbulnya beban tambahan dalam bentuk pembayaran commitment fee. Atau bahkan mengakibatkan rendahnya kwalitas proyek
yang dilaksakana dan kecilnya manfaat sosial dari proyek tersebut. Hingga Agustus
2012, Kementerian Keuangan mencatat jumlah kumulatif ULN yang belum ditarik
mencapai Rp157,9 triliun. Jika nilai ini ditambahkan dengan posisi outstanding
utang pemerintah saat ini, maka total nilai outstanding utang pemerintah hingga
saat ini mencapai Rp2.118 triliun!. Di sisi lain, dalam RAPBN 2013 pemerintah
masih malas meningkatkan sumber penerimaan negara (pajak dan bukan pajak) untuk
menghindari penambahan utang baru. Situasi ini memberi peluang dilestarikannya
kebijakan anggaran defisit yang dibiayai oleh penarikan utang-utang baru.
DPR juga harus mewaspadai rencana Pemerintah untuk
menarik utang siaga (contigency/stand-by
loan) dari sejumlah kreditor bilateral dan multilateral dalam RAPBN 2013
sebesar US$5 miliar atau setara Rp46,500 triliun. Selain tidak efektif, utang
siaga berpotensi merugikan keuangan negara atas pengenaan biaya-biaya (up-front fee, commitment fee, dll) dan
masih disertai persyaratan untuk mendorong liberalisasi kebijakan ekonomi nasional. Seperti biaya yang
dikeluarkan untuk Bank Dunia sekitar US$10,25 juta pada tahun 2009-2010 untuk
utang yang tidak dipergunakan oleh Pemerintah. Pada tahun 2009, ULN yang masuk kelompok Deffered
Drowdown Option (DDO) dalam hal ini sebagai Stand By Loan, memiliki
karakteristik khusus bahwa pinjaman tersebut baru akan ditarik oleh pemerintah
apabila Surat Utang Negara Pemerintah tidak dapat diserap oleh pasar. Hingga 31 Maret 2012, terdapat 3
pinjaman ULN jenis DDO dengan
nilai undisbursed amount (nilai utang yang belum ditarik)
sebesar USD 4,008.76 miliar.
3.
Utang Meningkat,
Ketimpangan Semakin
Meningkat. Kebijakan defisit APBN yang
ditempuh Pemerintah setiap tahun dengan tambahan utang baru ternyata justru
berkorelasi negatif dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terbukti gini
ratio Indonesia justru semakin meningkat, pada tahun 2012 gini ratio mencapai 0.41.
Semakin memburuknya gini ratio antara lain disebabkan pertumbuhan yang lebih
condong terhadap konglomerasi dan mengabaikan peranan sektor UMKM maupun koperasi. Selain itu, faktor yang
berkontribusi memperparah gini ratio adalah tingginya inflasi yang bersumber
dari bahan makanan, akibat ketergantungan impor, sebagai akibat tidak ada
alokasi anggaran yang memadai untuk peningkatan sarana dan prasarana sektor
pertanian.
Tabel. 1
Income Distribution, 2005-2011
|
40 percent low expenditure
|
40 percent medium expenditure
|
20 percent high expenditure
|
Gini Index
|
2005
|
20.22
|
37.69
|
42.09
|
0.33
|
2006
|
21.42
|
37.65
|
41.26
|
0.36
|
2007
|
18.74
|
36.51
|
44.75
|
0.38
|
2008
|
18.72
|
36.43
|
44.86
|
0.37
|
2009
|
21.22
|
37.54
|
41.24
|
0.37
|
2010
|
18.05
|
36.48
|
45.47
|
0.38
|
2011
|
16.86
|
34.73
|
48.41
|
0.41
|
Source : Based on Panel National Socio Economic Survey, BPS.
4.
Rasio Utang Turun, Jumlah Utang Meningkat. Jumlah rasio utang
pemerintah terhadap PDB yang terus menurun, dari 56,6% pada 2004 menjadi 24,4%
pada akhir 2011 bukanlah “prestasi” yang patut dibesar-besarkan. Sebab rasio
ini lebih mencerminkan tingkat “indebtness” sebuah negara, ketimbang beban
utang. Penggunaan indikator ini dirasa kurang relevan, mengingat pemerintah
terus meningkatkan penarikan utang-utang baru dan tidak adanya perubahan
fundamental dari struktur utang pemerintah. Strategi pemerintah dengan
memperbesar pembayaran utang dan memperkecil penarikan utang baru, yang
disertai dengan mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diharapkan
akan semakin mempercepat penurunan debt
to GDP rasio. Strategi ini sudah tentu mengabaikan opportunity cost dari anggaran negara yang dikorbankan agar
pemerintah tetap mampu membayar utang. Beban pembayaran utang yang terlalu
besar menyebabkan kemampuan belanja pemerintah semakin kecil untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Hal tersebut semakin diperparah dengan perilaku fiskal
pemerintah, dimana penarikan utang-utang baru banyak digunakan untuk anggaran
rutin.
Rekomendasi:
1.
Menghentikan penambahan utang baru,
baik Pinjaman Luar Negeri maupun Surat Berharga Negara dalam APBN 2013, untuk
mencegah ketergantungan terhadap utang dalam pembiayaan APBN dan terus membesarnya
akumulasi utang pemerintah. DPR harus mendorong Pemerintah mengoptimalkan sumber
alternatif pendanaan dengan cara meningkatkan penerimaan negara dan penghematan
belanja birokrasi. Misalnya dengan meningkatkan penerimaan perpajakan, yaitu
meningkatkan rasio pajak dari hanya 12,7% menjadi minimal 14% terhadap PDB.
Pemerintah juga harus memiliki target yang jelas dalam mengoptimalkan
Penerimaan Negara Bukan Pajak, khususnya melalui renegosiasi kontrak-kontrak
pengelolaan sumber daya alam seperti Minyak, Gas Bumi serta Pertambangan umum
yang merugikan kepentingan nasional.
2.
Mengurangi secara signifikan beban
pembayaran cicilan bunga dan pokok utang yang dimulai dari tahun 2013. Langkah
pengurangan utang juga dilakukan dengan cara membatasi pembayaran utang dalam RAPBN
2013. Langkah ini dilakukan guna memberikan prioritas alokasi anggaran negara
untuk pemenuhan hak konstitusi rakyat. Seperti pemenuhan 5% anggaran kesehatan
di luar gaji, penambahan anggaran untuk sektor pertanian, perikanan, dan
kelautan, anggaran khusus adaptasi perubahan iklim, serta pembangunan
infrastruktur dasar lainnya (air, transportasi publik, dll).
3.
DPR dan Pemerintah segera menyusun
langkah-langkah pengurangan dan penghapusan utang, untuk mengurangi nilai utang
secara absolut bukan hanya menurunkan rasio utang. Termasuk menghentikan
pembayaran Obligasi Rekap (OR) yang tidak adil. Didasarkan pada prinsip
keadilan dan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi warga negara.
4.
Agar pemerintah segera membatalkan
utang luar negeri yang belum ditarik sehingga tidak menimbulkan beban
pembayaran commitment fee.
5.
Melakukan evaluasi kewenangan Menteri
Keuangan atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dalam membuat
perjanjian utang luar negeri sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara No.
17/2003 dan UU Perbendaharaan Negara No. 1/2004 karena bertentangan dengan
Undang Undang Dasar 1945 pasal 11 ayat 2.
Demikian diuraikan Koalisi Anti Utang (KAU) yang digagas Dani Setiawan pada tahun lalu di
situs mereka secara gamblang
Posting Komentar